Reflecting on Aisyiyah: Bumikan Keadilan Gender Melalui Pendidikan Dan Pemberdayaan

Sumber: muhammadiyah.or.id

Oleh: Marsha Durrotun Nasiha
(Ketua Bidang Ekonomi & Kewirausahaan IMM Heksos)

Gerakan Sosial Dan Muhammadiyah

Gerakan sosial adalah serangkaian aksi yang diorganisir oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Anthony Giddens mendefinisikan gerakan sosial sebagai usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama atau kepentingan yang sama melalui tindakan kolektif, yang dilakukan di luar lembaga-lembaga yang sudah ada (Putra dkk, 2006). Aksi ini melibatkan kerjasama dari organisasi atau kelompok besar yang bertujuan memperjuangkan atau menentang perubahan sosial atau politik. Gerakan sosial sangatlah penting karena memberikan suara kepada mereka yang sering kali tidak terdengar dan mampu menciptakan perubahan besar dalam masyarakat. Contoh nyata dari gerakan sosial di Indonesia adalah Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam non-pemerintah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Yogyakarta. Organisasi ini berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah, dengan fokus pada purifikasi Islam dan dakwah yang maju. Muhammadiyah aktif di berbagai sektor, termasuk pendidikan, dakwah, dan sosio-ekonomi. Banyaknya sekolah, masjid, dan rumah sakit yang didirikan sejak awal membuktikan komitmen Muhammadiyah dalam memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan mengatasi berbagai tantangan sosial.

Aisyiyah: Kehadiran Perempuan Hebat Dalam Muhammadiyah

Bersamaan dengan berdirinya Muhammadiyah, pada tahun 1914 didirikan pula 'Aisyiyah. Aisyiyah, sebuah organisasi perempuan terkait dengan Muhammadiyah, sebuah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, mulai berdiri pada tahun 1917 oleh istri-istri dari para tokoh pendiri Muhammadiyah. Tujuan utama Aisyiyah adalah untuk memberdayakan perempuan melalui upaya pendidikan, kesehatan, dan program sosial lainnya. Dengan jaringan yang merata di seluruh Indonesia, organisasi ini aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan sosial. Awalnya, perkumpulan ini bernama Sapa Tresno, yang terdiri dari gadis-gadis terdidik di Kauman. Kyai Haji Ahmad Dahlan mendorong perempuan untuk belajar, baik di sekolah umum maupun agama, yang pada saat itu bertentangan dengan norma sosial bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan formal. Hal ini menunjukkan visi progresif Dahlan tentang pentingnya pendidikan bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin. Menurut Anwar (2018), keterlibatan 'Aisyiyah tidak hanya menyediakan sistem makna, tetapi juga memperkuat peran dan otoritas perempuan untuk mendukung misi yang lebih besar. 'Aisyiyah mendorong kemajuan perempuan sebagai individu, anak perempuan, istri, dan anggota masyarakat, dengan memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta ekspektasi sosial budaya yang adil. Hal ini menunjukkan bagaimana 'Aisyiyah memainkan peran penting dalam memajukan hak-hak perempuan dan memperkuat posisi mereka dalam masyarakat.

'Aisyiyah adalah salah satu organisasi perempuan Muhammadiyah pertama di Indonesia yang mengalami tiga periode bersejarah: akhir kolonial, awal kemerdekaan, dan masa reformasi. Selama periode ini, opini 'Aisyiyah berkembang seiring dengan tuntutan modernitas dan kontribusi dalam kemerdekaan nasional. Seperti yang disebutkan Anwar dalam karyanya "Feminisme Islam" (2018), 'Aisyiyah bersama organisasi perempuan lain seperti Persistri dari Persatuan Islam dan Muslimat dari Nahdlatul Ulama, berusaha menyeimbangkan kebijakan negara mengenai ideologi gender dan peran perempuan. Kolaborasi ini menekankan pentingnya kerjasama antar organisasi perempuan dalam memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan gender. 'Aisyiyah berperan dalam kebijakan pemerintah terkait isu-isu perempuan, termasuk poligami, pendidikan, dan kesetaraan perempuan. Pemahaman Islam yang berkemajuan dan pentingnya pendidikan dalam gerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah menghasilkan berbagai inovasi, seperti berdirinya pendidikan untuk anak usia dini (TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal), pendidikan keaksaraan, dan mushola perempuan. Inovasi-inovasi ini menunjukkan komitmen 'Aisyiyah dalam meningkatkan akses pendidikan dan fasilitas keagamaan bagi perempuan.

Aisyiyah Dan Keadilan Gender

Untuk menyebarkan ide-ide pembaruan dan meningkatkan derajat kaum perempuan, 'Aisyiyah menerbitkan majalah "Suara ‘Aisyiyah" pada tahun 1926. Sebagai organisasi perempuan yang berdiri sejak masa awal pergerakan, 'Aisyiyah berperan aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia I dan mendirikan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Publikasi ini berfungsi sebagai alat komunikasi penting untuk menyebarkan informasi dan ide-ide progresif kepada anggotanya dan masyarakat luas. Ayat Al-Qur'an seperti An-Nisa ayat 124, An-Nahl ayat 97, dan An-Nisa ayat 34 menjadi dasar teologis bagi 'Aisyiyah untuk membangun status ontologis perempuan dalam Islam. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar tidak memandang jenis kelamin. 'Aisyiyah mendorong perempuan Muslim untuk mengupayakan peran mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat melalui berbagai aktivitas. Hal ini menunjukkan bagaimana 'Aisyiyah menggunakan teks-teks keagamaan untuk mendukung agenda kesetaraan gender

Gerakan perempuan Muslim, termasuk 'Aisyiyah, merupakan proses yang menghasilkan makna tentang gender, identitas, kolektivitas, dan persaudaraan perempuan. Pada era reformasi, pemerintah semakin aktif melalui kementerian pemberdayaan perempuan untuk membantu meningkatkan keadaan dan peluang bagi perempuan. Perubahan ini mencerminkan perkembangan positif dalam kebijakan pemerintah terhadap isu-isu perempuan dan pengakuan atas kontribusi organisasi perempuan seperti 'Aisyiyah. Isu-isu gerakan perempuan pada masa akhir kolonial terfokus pada pernikahan di bawah umur, pendidikan perempuan, hak pilih perempuan, dan hukum perkawinan, terutama terkait poligami. Pada awal kemerdekaan, gerakan kesetaraan gender mengejar dua agenda utama: sosio-ekonomi dan hukum-hukum perkawinan Indonesia. Fokus ini menunjukkan prioritas gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak dasar dan kesetaraan di bidang-bidang yang paling mempengaruhi kehidupan perempuan.

Pada masa Orde Baru dan reformasi, setelah ratifikasi kebijakan The Nairobi Forward-Looking Strategies for The Advancement of Women (NFLS) pada 1985, masalah kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian dibahas lebih lanjut di Indonesia. LSM perempuan juga mulai didirikan dengan tujuan menentang dan menghapuskan sistem patriarki, serta mengangkat hak-hak dan isu-isu perempuan seperti hak-hak reproduksi, kesetaraan gender, dan kekerasan terhadap perempuan. Peran ini menunjukkan pentingnya LSM dalam mengadvokasi hak-hak perempuan dan menantang struktur patriarki yang ada. Isu-isu yang diangkat termasuk hukum perkawinan dan poligami, rancangan undang-undang pornografi, kuota politik, dan penguatan feminisme Indonesia. Fokus ini mencerminkan perjuangan berkelanjutan untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan sosial, serta komitmen untuk mengatasi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Maka dari itu, peran Muhammadiyah dan 'Aisyiyah dalam gerakan sosial di Indonesia sangat penting, terutama dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosio-ekonomi. Kedua organisasi ini telah menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam dunia modern untuk memajukan hak-hak perempuan dan menciptakan perubahan sosial yang positif. Dengan terus mendukung pendidikan dan advokasi hak-hak perempuan, Muhammadiyah dan 'Aisyiyah akan terus berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih adil dan setara di masa depan. Gerakan ini tidak hanya penting bagi komunitas Muslim di Indonesia, tetapi juga memberikan contoh inspiratif bagi gerakan sosial di seluruh dunia.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url